Pergerakan Alumni Pesantren dalam Menjaga Marwah Kyai Berharap Rida Ilahi


 Oleh: Akhmad Sururi (Alumni Lirboyo Kediri Angkatan Tahun 2000)

OPINI — Menjelang Hari Santri Nasional tahun 2025, dunia pesantren dan kyainya terluka oleh pihak-pihak yang tidak memahami pesantren. Diawali dengan ambruknya bangunan di Pondok Pesantren Al-Khoziny Sidoarjo, disusul dengan tayangan penghinaan oleh Trans 7 kepada KH. Anwar Manshur, Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, dan tradisi pesantren yang selama ini sudah berjalan.

Tayangan Trans 7 inilah yang memantik pergerakan secara masif seluruh alumni pesantren, khususnya alumni Lirboyo dan alumni lainnya. Mereka bergerak melakukan demonstrasi mengecam keras tayangan Trans 7 dengan menyampaikan beberapa tuntutan. Pergerakan aksi ini tentu menjadi catatan sejarah bagi komunitas bersarung yang selama ini nyaris tidak pernah turun ke jalan. Para alumni pesantren lebih banyak disibukkan oleh kegiatan keumatan dalam bentuk khidmah kepada masyarakat, sehingga nyaris tidak ada ruang untuk melakukan demonstrasi.


Akan tetapi, begitu yang terusik adalah marwah kyai dan pesantren, dengan spontanitas tanpa komando, alumni pesantren bergerak dengan aksi demonstrasi. Mereka tidak digerakkan oleh kyai atau siapapun yang didapuk menjadi aktor intelektual. Pergerakan aksi mereka benar-benar tulus karena keterpanggilan nurani, merasa tidak terima atas penghinaan terhadap kyai dan pesantren.

Menjaga marwah kyai dan pesantren menjadi bentuk khidmah santri sepanjang masa. Saat sudah di rumah menjadi alumni pesantren pun, keterpanggilan khidmah terpatri dalam hati alumni. Sehingga, saat kehormatan kyai dan pesantren terciderai, tanpa berpikir panjang mereka melakukan langkah pergerakan aksi dengan salah satu tajuk Bela Kyai dan Pesantren.

Sungguh merupakan pemandangan yang baru terjadi di Republik Indonesia saat aksi menyampaikan aspirasi diiringi dengan lantunan bait Alfiyah Ibnu Malik dan Salawat Ala Lirboyo. Inilah yang membedakan demonstrasi santri dengan yang lainnya. Selama ini, aksi demonstrasi sarat dengan muatan anarkis, sebagaimana yang terjadi pada akhir Agustus 2025 di beberapa daerah.

Berbeda dengan aksi alumni santri, mereka tampil dengan pakaian khas sarung dan peci hitam yang menjaga nilai kesantunan dan adab. Inilah yang menjadi pesan salah satu Dzuriyah Lirboyo, agar dalam beraksi tetap menjaga akhlak santri. Sehingga, meskipun mereka berteriak, tetap menjaga etika sebagai santri. Lebih dari itu, di ruangan saat diplomasi dengan beberapa pihak terkait, alumni santri bisa menyampaikan bahasa yang santun dengan muatan akademik yang tidak kalah dengan mereka yang belajar di bangku perkuliahan.

Pergerakan yang dilakukan oleh alumni santri di beberapa daerah sesungguhnya bisa menjadi langkah awal bagi beberapa pihak untuk mengukur kekuatan alumni santri. Alumni pesantren yang tersebar di setiap pelosok desa bahkan hari ini sampai di kota-kota, dalam ukuran kuantitas, apakah berbanding lurus dengan pergerakan sebagaimana yang dilakukan oleh komunitas mahasiswa.



Berkaca pada Resolusi Jihad sebagai tonggak mempertahankan NKRI di bawah komando KH. Hasyim Asy'ari, sesungguhnya yang bergerak mayoritas santri. Ribuan santri bergerak membela bangsa dengan ketulusan hati. Bahkan, menurut beberapa saksi sejarah, yang membunuh Jenderal Mallaby adalah santri, termasuk yang menurunkan bendera di Hotel Yamato juga santri.

Oleh karena itu, saat perjuangan kemerdekaan santri membela negeri, hari ini menjadi kewajiban santri membela kyai dan pesantren. Membela kyai dan pesantren menjadi implementasi khidmah yang berharap kepada berkah. Saat nyantri di pesantren, khidmah bukanlah diperbudak, melainkan bentuk kepatuhan kepada Sang Guru Ruhani. Begitu pun saat menjadi alumni, keterpanggilan khidmah mewarnai di hati dengan harapan mendapatkan rida ilahi.

Previous Post Next Post

ظ†ظ…ظˆط°ط¬ ط§ظ„ط§طھطµط§ظ„