Oleh: Akhmad Sururi (Wakil Sekjen Dewan Pengurus Pusat Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah)
PENDIDIKAN — Pembahasan kurikulum Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) tidaklah seramai tema kurikulum Merdeka yang hari ini memiliki berbagai pendekatan. Termasuk yang sedang hangat dan mewarnai berbagai media adalah pembelajaran mendalam (deep learning) dan kurikulum berbasis cinta. Meski tidak sehangat kurikulum yang sedang ramai diperbincangkan, sesungguhnya kurikulum MDT memiliki makna yang sangat penting dalam mewujudkan tujuan sistem pendidikan nasional.
MDT adalah satuan pendidikan keagamaan Islam nonformal yang menyelenggarakan pendidikan Islam sebagai pelengkap bagi siswa pendidikan umum. Satuan pendidikan tersebut memiliki jenjang untuk tingkat dasar (diniyah takmiliyah awaliyah) dengan masa belajar empat atau enam tahun, jenjang menengah (diniyah takmiliyah wustha) masa belajar tiga tahun, dan untuk menengah atas (diniyah ulya) masa belajar selama tiga tahun. Semua jenjang MDT memiliki jumlah jam belajar minimal 18 jam pelajaran dalam seminggu dengan durasi jam yang berbeda.
Menurut Amin Haidari, perubahan nomenklatur dari madrasah diniyah menjadi diniyah takmiliyah berdasarkan pertimbangan bahwa kegiatan madrasah diniyah merupakan pendidikan tambahan sebagai penyempurna bagi siswa sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA) yang hanya mendapat pendidikan agama Islam dua jam pelajaran dalam satu minggu. Oleh karena itu, sesuai dengan artinya, kegiatan tersebut yang tepat adalah diniyah takmiliyah. Madrasah Diniyah (MD) atau yang saat ini disebut Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) adalah lembaga pendidikan Islam yang dikenal sejak lama, bersamaan dengan masa penyiaran Islam di Nusantara.
Selain jenis MDT dalam bentuk satuan pendidikan, juga ada jenis program MDT terintegrasi. Madrasah Diniyah Takmiliyah Terintegrasi (MDT Terintegrasi) adalah jenis program pendidikan keagamaan Islam nonformal yang diselenggarakan secara terpadu dengan lembaga pendidikan formal (seperti SD, SMP, SMA, atau perguruan tinggi umum) untuk melengkapi pengetahuan agama Islam peserta didik. Program ini tidak berjenjang dan bertujuan memperdalam pemahaman agama, membentuk karakter muslim, serta menanamkan rasa cinta Al-Qur'an dan akhlak mulia pada siswa muslim di tingkat dasar.
Istilah kurikulum terintegrasi dalam konteks pendidikan formal adalah pendekatan pendidikan yang menyatukan berbagai mata pelajaran menjadi satu kesatuan yang holistik, tanpa batas antardisiplin ilmu, untuk menciptakan pembelajaran yang lebih bermakna dan relevan bagi siswa. Tujuannya adalah agar siswa dapat memahami konsep secara mendalam dan melihat hubungan antara berbagai pengetahuan dengan kehidupan nyata, sehingga mendorong pengembangan kemampuan siswa secara keseluruhan.
Sementara itu, pemahaman tentang kurikulum MDT yang terintegrasi dengan lembaga pendidikan formal lebih pada penyisipan jam mata pelajaran keagamaan di lembaga pendidikan formal dengan memperkuat pendidikan karakter keagamaan. Integrasi kurikulum Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) dalam kurikulum pendidikan formal dapat dilakukan melalui pendekatan "pendidikan karakter", "pembelajaran berdiferensiasi", dan "pembelajaran berbasis proyek", dengan fokus pada nilai-nilai Islam dan keterampilan yang relevan dengan kehidupan siswa. Integrasi ini memungkinkan materi MDT disisipkan ke dalam jam mata pelajaran keagamaan dengan memperdalam ilmu agama, dengan orientasi membentuk siswa yang memiliki karakter keagamaan yang kuat.
Meski secara implementatif integrasi kurikulum MDT pada lembaga pendidikan formal belum dilaksanakan, sejalan dengan tujuh kebiasaan anak Indonesia hebat menuju Indonesia Emas, kehadiran kurikulum MDT yang terintegrasi sangat strategis. Hal ini mengingat keterbatasan jam mata pelajaran agama yang sangat terbatas sehingga untuk sampai pada pembelajaran yang mendalam, dibutuhkan penguatan kurikulum MDT di lembaga pendidikan formal.
MDT terintegrasi dan kurikulum MDT terintegrasi bisa menjadi satu paket dalam program pembelajaran MDT yang disandingkan dengan lembaga pendidikan formal. Bisa juga lembaga MDT terpisah dari lembaga pendidikan formal, akan tetapi kurikulumnya terintegrasi dengan formal melalui proses kerja sama antara MDT dengan lembaga pendidikan formal.
Semua menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional dengan proses pembelajaran secara berjenjang. Hanya saja, jika model MDT terintegrasi dengan lembaga formal, maka jenjangnya mengikuti lembaga pendidikan formal. Sementara itu, untuk MDT dalam satuan pendidikan dengan kurikulum terintegrasi, jenjangnya menjadi kewenangan pihak MDT.
Melalui kurikulum terintegrasi ini, semoga eksistensi MDT akan memberikan warna dalam penguatan pendidikan karakter di lembaga pendidikan formal. Hal ini sangat penting mengingat salah satu ciri generasi Z memiliki kecenderungan jauh dari ajaran agama. Saat mereka jauh dari agama, pemahaman dan rasa beragama akan lepas dari jiwa mereka. Oleh karena itu, hadirnya kurikulum MDT dengan model terintegrasi akan menjadi langkah terbaik untuk membangun masa depan generasi bangsa yang memiliki kekuatan karakter dalam beragama