WANASARI — Kegiatan Bahsul Masail di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) merupakan roh dan ciri organisasi yang didominasi oleh alumni pesantren. Kegiatan yang mengasah pengetahuan intelektual dengan beribadah kitab kuning ini menjadi forum ilmiah untuk menyelesaikan berbagai persoalan terkait dengan ibadah, muamalah, sosial kemasyarakatan, dan kebangsaan. Semua dapat dibahas dalam forum yang menghadirkan para kyai dengan kompetensi kitab kuning yang sudah mumpuni.
Hal tersebut disampaikan oleh Akhmad Sururi selaku Sekretaris MWC NU Wanasari saat membuka Bahsul Masail Ranting NU Jagalempeni Selatan, pada Ahad, 19 Oktober 2025, di Gedung NU Jagalempeni Selatan.
"Ada banyak persoalan di tengah-tengah masyarakat yang membutuhkan solusi hukum fikih. NU sebagai masyarakat fikih memandang segala apa pun yang berkembang dalam kehidupan ini tidak bisa dilepaskan dari fikih, baik itu tentang ibadah, muamalah, kemasyarakatan, dan politik kebangsaan. Semuanya tidak bisa dilepaskan dari koridor ketentuan fikih dengan ahkamus syari'ah, mulai dari wajib, sunah, mubah, makruh, halal, dan haram," kata Akhmad Sururi.
Di hadapan peserta Bahsul Masail dan seluruh tamu undangan, Pengurus MWC NU Wanasari ini mengapresiasi setinggi-tingginya kepada NU Ranting Jagalempeni Selatan yang telah menyelenggarakan Bahsul Masail tingkat ranting. "Kehadiran para kyai yang alim kitab kuning karena setiap malam selalu muthala'ah sesungguhnya menjadi keberkahan untuk Ranting NU Jagalempeni Selatan. Lebih-lebih kantor Ranting NU Jagalempeni Selatan yang pernah disambangi oleh KH Said Aqil Siroj saat bulan Syawal kemarin."
Mengenai materi Bahsul Masail yang akan dibahas, Sururi menegaskan bahwa permasalahan yang akan dibahas tidak lepas dari apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Termasuk tentang kelebihan uang pembelian tanah wakaf halaman Masjid Jami Baiturohim Jagalempeni Selatan. "Hal ini memburu jawaban secara fikih dengan referensi yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga pengurus masjid dalam melangkah memiliki landasan hukum yang jelas."
"Selanjutnya tentang fidyah yang selama ini sudah dilakukan oleh ahli waris dengan mengundang para ustaz atau tokoh agama yang bisa mengucapkan qabiltu dan selanjutnya. Mereka saat akad menerima, apakah termasuk mustahik atau bukan. Hal ini tentu kita tidak boleh berpegangan kepada kaidah Jawa, 'Salah kaprah, bener ora lumrah' (salah karena sudah umum, benar tapi tidak lumrah). Jangan kemudian kesalahan dilakukan secara terus-menerus tanpa ada ketentuan yang jelas secara hukum fikih. Termasuk pembagian beras fidyah untuk orang-orang yang hadir saat tahlil dan doa 40 hari. Apakah yang hadir itu fakir dan miskin semua, sementara aturan fidyah diberikan kepada fakir dan miskin," lanjut Sururi.
Menyinggung tentang pologoro yang menjadi salah satu bahasan dalam Bahsul Masail, Sururi mengatakan selama ini masyarakat mengenal pologoro saat warga melakukan transaksi terkait dengan tanah. "Tentu dalam konteks fikih, akan kita lihat dalam kategori akad apa? Hal ini penting karena kita sebagai orang yang hidup di negara Indonesia terikat dengan norma hukum undang-undang. Apakah UU atau peraturan terkait dengan pologoro, termasuk peraturan desa yang mengatur tentang sumber pendapatan desa."
Mengakhiri sambutannya, Akhmad Sururi mengucapkan terima kasih kepada peserta Bahsul Masail Ranting NU Jagalempeni Selatan. "Semoga bisa menghasilkan keputusan yang bermanfaat untuk umat."
Tampak hadir dalam kegiatan tersebut H. Akhmad Sujai selaku mustasyar NU Jagalempeni Selatan sekaligus narasumber terkait dengan salah satu as'ilah (pertanyaan) dalam BM tersebut. Rais Syuriah NU Ranting Jagalempeni Selatan dan Ketua Tanfidziyah juga hadir dalam forum tersebut. Bertindak sebagai musahhih (pemverifikasi/pengoreksi) adalah Ketua PC LBM NU Kabupaten Brebes, Kyai Toha SQ, didampingi oleh M. Ansori selaku Sekretaris sebagai tim perumus.